Hikmah

Menikahi Perempuan Lumpuh

Suatu ketika, Abu Shaleh sedang duduk santai di pinggir sungai kecil. Hampir seharian ia duduk di situ, sementara perutnya dalam kosong. Perutnya belum terisi oleh makanan sedikitpun.

“Seandainya ada buah atau makanan, duhai nasib, perutku tidak akan melilit begini” gumamnya dalam hati.

Tidak lama setelah itu, ia melihat buah apel yang terbawa hanyut air. Setelah menahan lapar yang teramat sangat lebih dari lima jam, Abu Shaleh segera menyambar buah apel itu.

Apel sudah dalam genggamannya. Digigitnyalah apel. Dikunyah dengan mantap, dan ditelan. Masuk sudah ke dalam perutnya satu gigitan apel.

Tiba-tiba …

“Astaghfirullah … saya telah mencuri buah apel milik orang lain” Abu Shaleh menjerit.

Buah apel yang sedang menempel di bibirnya dicabutnya kembali. Sambil berdiri, ia memandangi cakrawala. Pikirannya melayang-layang untuk mencari sumber dari mana buah apel itu berasal.

“Aku harus mencari pemilik kebun buah apel ini. Aku harus meminta maafnya. Jika tidak, selamanya aku memakan makanan yang haram. Itu berarti, doaku tidak akan pernah dikabulkan oleh Allah”.

Abu Shaleh bergumam sendirian. Tekadnya sudah bulat. Niatnya sudah mantap untuk membersihkan dosa dari tubuhnya saat itu.

Abu Shaleh pun segera menelusuri jejak kebun buah apel. Tetapi, karena waktu sudah menjelang Maghrib, ia memutuskan untuk menundanya esok hari. Malamnya, Abu Shaleh shalatul lail. Ia memohon ampun atas kelalaiannya. Ia juga memohon petunjuk agar segera dipertemukan dengan pemilik kebun apel.

Pagi-pagi, Abu Shaleh segera melakukan pencarian lanjutan. Setelah mengarungi lembah dan ngarai dalam beberapa jam, ia akhirnya menemukan kebun yang dimaksud.

“Assalamu’alaikum …” ucapnya memberi salam.

Ucapan salam disampaikan olehnya tiga kali. Tetapi, dari dalam kebun, belum juga tampak orang yang membalas ucapannya itu. Ia mencobanya kembali selama beberapa kali.

Lalu …

“Wa’alaikum salam wa rahmatullah wa barakaatuh” jawab seorang tua yang ternyata adalah pemilik kebun.

“Ada apa anak muda. Apa yang bisa Bapak bantu?”

“Begini Pak Tua yang Bijaksana”, Abu Shaleh menjelaskan maksud kedatangannya, “Saya datang untuk menemui Bapak karena ada hal penting yang harus disampaikan. Pertama, saya ingin bertanya: Apakah kebun apel ini milik Bapak?”

“Ya” jawabnya tegas dan singkat, sambil menatap Abu Shaleh dengan mantap, tetapi ramah.

“Kedua”, kata Abu Shaleh, “saya ingin meminta maaf seikhlas-ikhlasnya kepada Bapak sebagai pemilik kebun apel”.

Abu Shaleh pun menceritakan kembali “pertemuannya” dengan buah apel itu di sebuah sungai kecil. Termasuk apa yang dilakukannya terhadap apel itu.

Lalu, apa jawaban Pak Tua Pemilik Kebun itu ….?

“Tidak. Aku tidak akan memaafkan kesalahanmu. Kecuaki kamu mengikuti dan melaksanakan syarat yang aku sampaikan” jawab Pak Tua tegas.

Batin Abu Shaleh kaget bukan kepalang. Ia tidak percaya bahwa Pak Tua yang Bijaksana itu enggan memaafkan kesalahannya. Dalam kebingungan dan kegalauan, Abu Shaleh memberanikan diri untuk bertanya.

“Syarat apa  yang ingin Pak Tua minta dari saya?” jawabnya lugas.

“Kamu harus menjaga kebun apelku ini selama dua tahun, tanpa bayaran. Itu sudah cukup bagiku untuk menebus kesalahanmu”.

Pikiran Abu Shaleh menerawang dan berpikir, apakah ia sanggup menunggu kebun itu selama dua tahun, tanpa bayaran. Tetapi, batinnya terus mendorongnya untuk segera bersih dari dosa. Lalu, …

“Baik. Saya siap memenuhi persyaratan itu, insya Allah” jawab Abu Shaleh dengan mantap, tanpa keraguan hati.

Sejak saat itu, Abu Shaleh harus menjaga dan merawat kebun apel sebagai tebusan dosanya. Ia melaksanakan amanah ini dengan penuh tanggung jawab. Ia hanya ingin agar kesalahan kepada manusia bisa segera dibersihkan. Baginya, hubungan dengan manusia dengan manusia harus juga baik sebagaimana hubungan dengan Allah.

Tidak terasa, dua tahun usai sudah tugas yang harus dilaksanakan oleh Abu Shaleh. Pada hari yang telah ditentukan, Abu Shaleh dan Pak Tua pemilik kebun bertemu kembali.

“Pak Tua”, ujar Abu Shaleh mengawali pembicaraan, “Saya telah melaksanakan tugas itu sesuai waktu yang telah disepakati. Itu berarti, kesalahan saya sudah dibayar. Dan, sekarang, saya ingin pamit pulang untuk kembali belajar di ma’had al-islamiyah“.

“Tidak bisa. Kamu harus melaksanakan persyaratan kedua. Jika tidak, kamu tidak akan pernah aku maafkan seumur hidup” jawab Pak Tua bernada mengancam.

Kedua mata Abu Shaleh terbelalak. Ia merasa heran, bukankah syarat yang dikemukakan itu sudah dipenuhi. “Syarat apa lagi ini?” gumamnya dalam hati. Akhinrya, Abu Shaleh berbicara …

“Syarat apa lagi yang harus aku laksanakan?”

“Kamu harus menikahi anak saya yang semata wayang. Saat ini, ia sedang berada di rumah karena lumpuh, tuli, dan bisu” ujar Pak Tua.

Abu Shaleh berpikir keras untuk mencari jawaban dan solusi atas persyaratan ini. Mampukah ia menikahi seorang wanita yang lumpuh, bisu, dan tuli? “Ya Allah. Berilah petunjuk kepada hamba-Mu yang dalam kebingungan ini?” jeritnya dalam hati kepada Allah.

“Bagaimana …? Bisa?” tanya Pak Tua.

“Baiklah. Demi dan karena Allah, saya siap untuk menikahi puteri Pak Tua” jawabnya sedikit ragu.

“Kalau begitu, kita pulang ke rumah” ajak Pak Tua.

Abu Shaleh dan Pak Tua pulang ke rumah untuk mengurusi segala sesuatu yang berkaitan dengan pernikahan. Setelah rukun dan syarat pernikahan sudah siap, ia berbicara empat mata dengan anak perempuannya di sebuah kamar yang tidak diketahui oleh siapa pun.

Akad nikahmu pun dilaksanakan dengan lancar. Tidak akan hura-hura. Tidak ada musik organ tunggal. Yang ada hanyalah kesederhanaan, tetapi penuh berkah dan rahmat Allah.

Selang beberapa jam dari pelaksanaan akad nikah, Abu Shaleh melakukan protes kepada mertuanya.

“Pak, mengapa Bapak berbohong kepada saya?” tanya Abu Shaleh.

“Dulu, Bapak bilang bahwa anak Bapak ini perempuan yang lumpuh, tuli, dan bisu. Padahal, ia adalah seorang gadis yang sempurna. Ia cantik jelita. Ia juga tidak tuli dan tidak bisu” lanjutnya.

Sambil tersenyum ramah, Pak Tua memberi penjelasan yang kemudian menggugah kesadaran Abu Shaleh.

“Yang Bapak maksud lumpu itu, karena anak perempuanku ini tidak pernah melangkahkan kaki, kecuali untuk kebaikan dan kebenaran. Ia tidak pernah keluar rumah untuk berhura-hura dan berfoya, kecuali untuk berjihad di jalan Allah, termasuk mencari ilmu. Ia disebut tuli karena telinganya hanya digunakan untuk mendengarkan perkataan atau nasihat yang baik dan benar. Ia tidak mau mendengarkan gosip atau omongan orang yang tidak benar. Ia disebut bisu karena lisannya hanya untuk berbicara yang baik, bukan asal bunyi. Jika ia tidak bisa berbicara benar dan baik, ia akan diam. Itulah kepribadian anak perempuanku, anakku”.

Selama beberapa tahun kemudian, keluarga Abu Shaleh yang beristrikan wanita shalehah dikarunia keturunan yang baik. Sebagian besar dari keturunannya adalah generasi penghapal Alquran. Keluarga ini bukan hanya menjadi mawaddah wa rahmah, melainkan juga imaaman lil muttaqiin bagi keluarga lainnya. Subhanallah.