Muslimkah Anda? Ya, saya Muslim. Saya bangga menjadi seorang Muslim. Jika Anda Muslim, Anda pun seharusnya bangga menjadi bagian dari umat Muslim dunia.
Pertanyaan ini sangat mudah dijawab oleh siapa pun. Tetapi, ketika diajukan pertanyaan: ”Siapkah Anda untuk melaksanakan apa yang menjadi perintah Allah di dalam Alquran dan Rasulullah Shallallahu ’Alayhi wa Sallam melalui Sunnahnya? Siapkah Anda untuk melaksanakan syariat Allah?” Untuk menjawab pertanyaan ini, tidak sedikit orang yang mengerenyitkan dahi. Ia gagap dan bingung. Ia bingung, apa yang harus ia katakan.
Lalu, jawaban apologi—pembelaan diri. Apa yang dilontarkannya itu diawali oleh kata ”tapi, ’kan”. Misalnya, ”Saya bukannya tidak setuju dengan syariat Islam, tapi ’kan …”. Pernyataan seperti ini sering sekali kita jumpai; padahal sebagian besar warga masyarakat kita adalah muslim. Tidak sedikit pula di antara mereka yang muslim itu masih terikat kuat dengan tradisi yang justru bertentangan dan kontraproduktif dengan ajaran Islam. Kepada mereka, Allah bertanya: ”Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah, 50).
Bahkan, atas nama hiburan atau menghibur orang—meskipun pada akhirnya adalah untuk kebutuhan perut; mereka menggadaikan agama demi kebutuhan dunia. Agaknya, kondisi ini sudah diprediksi oleh Rasulullah Shallallahu ’Alyhi wa Sallam dalam sabdanya: ”Segeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam yang gelap gulita. Saat itu, pada pagi hari, seseorang beriman, tetapi pada sore harinya ia kafir. Pada sore hari, seseorng beriman, tetapi, pada pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamanya dengan harta dunia” (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Apakah kita menjadi bagian dari “orang-orang yang menjual agamanya itu dengan harta dunia? Apakah kita membiarkan kondisi yang sejatinya adalah merusak akidah Islam yang benar? Apakah kita bersikap acuh dan tidak melaksanakan perintah Allah untuk beramar ma’ruf nahy mungkar, sementara kita melihatnya?” Bertanyalah kepada nurani.
Ironis sekali bahwa tidak sedikit di antara kaum muslim yang tidak mau memahami Alquran, padahal, muatan Alquran itulah yang justru menjadi sumber kemuliaan kita. Tidak hanya itu, hingga kini, masih banyak kaum muslim yang tidak mampu membaca Alquran dengan baik dan benar—tahsinul quran. Kemampuan tahsinul quran mereka tidak ada sama sekali; hatta mereka suka mendirikan shalat lima waktu. Lebih-lebih tafhimul quran atau pemahaman Alquran—bisa dikatakan sangat tidak paham.
Apa yang terjadi kini, ketika kaum muslim mencampakkan Alquran, sesungguhnya, sama dengan yang pernah terjadi pada diri Bani Israil. Bani Israil mengabaikan Taurat, Zabur, dan Injil yang seharusnya mereka pahami, dan tegakkan. Karena mereka tidak melaksanakan perinah Allah untuk menegakkan dan melaksanakan ajaran kitab Allah, Allah menyebut mereka sepanjang orang yang tidak beragama: ”Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Alquran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” (QS al-Maidah, 68).
Ungkapan ”kamu tidak dipandang beragama sedikitpun” merupakan akibat yang harus mereka tanggung; sedangkan ungkapan ”hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Alquran” adalah sebab-syarat jika mereka ingin disebut beragama. Jadi, penegakan Alquran (tuqiimul quran)—jelasnya adalah pelaksanaan nilai-nilai Alquran dalam berbagai segi dan aspek kehidupan—merupakan prasyarat utama. Berarti, tidak akan ada agama dalam diri seseorang, jika tidak melaksanakan apa yang menjadi perintah Alquran. Lalu, sebutan apa yang cocok untuk Bani Israil yang mengabaikan kitab-kitab Allah itu?
Keledai. Ya, Allah menyebut mereka seperti keledai karena mereka membawa kitab Allah, tetapi tidak pernah membuka untuk membaca, memahami, dan mengamalkan muatan ajarannya. ”Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya itu seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal” (QS al-Jumuah, 5). Di dalam tafsirnya, Syekh Ibnu Katsir mengartikan ungkapan ”lam yahmiluuhaa, mereka tiada memikulnya” dengan ”lam ya’maluu bihaa, mereka tidak mengamalkannya”.
Maka, jelas sekali bahwa keledai membawa dan memikul kitab; tetapi, dipastikan, keledai tidak akan pernah berusaha memahami apa yang dibawanya. Dia ”tahu” bahwa di punggungnya ada beban berat bernama kitab. Tetapi, ia tidak akan pernah berminat untuk berhenti sejenak, dan membuka kitab itu untuk memahaminya. Jadi, jika masih banyak warga masyarakat Islam yang tidak mampu membaca Alquran, bahkan tidak ada keinginan sama sekali untuk memahami Alquran, sesungguhnya, di sisi Allah, mereka adalah keledai. Wujud mereka dalam pandangan manusia adalah manusia; padahal wujud mereka di sisi Allah adalah keledai. Jadi, setiap muslim sudah saatnya merasa nikmat dengan Alquran. Mereka harus sudah mulai berkemas hati untuk mendalami Alquran.
Kita yakin dan percaya bahwa Alquran tidak saja bacaan yang mampu menggugah jiwa-rasa seseorang. Alquran juga bisa menjadi pembentuk karakter seseorang. Seseorang akan menjadi orang yang memiliki integritas dan bertanggung jawab atas amanat yang dipercayakan kepadanya karena ia sangat menyadari bahwa Allah meminta pertanggung jawaban darinya. Keharusan bertanggung jawab itu ketahui dari pemaparan Alquran sedemikian jelas. Bahkan, sikap dan semangat menjaga amanah merupakan salah satu perilaku ahli Jannatul Firdaus. ”Orang-orang yang memelihara amanah-amanah yang dipikulnya dan janjinya” (QS al-Mukminuun, 8).
Seseorang akan menjadi orang yang mengedepankan kejujuran karena ia yakin bahwa di dalam kejujuran itu ada banyak kebaikan baginya. Ia juga berjuang maksimal dan optimal agar ia menjadi orang yang amanah. Mengapa? Amanah inilah yang menjadi modal pertama dan utama dalam bisnis. Termasuk di dalam konsep bisnis modern. Itulah sebabnya, modal utama dan pertama dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam pun adalah amanah; bukan kekayaan harta atau pengaruh. Selain amanah, di dalam diri Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam ada tiga sifat teladan lainnya, yaitu shiddiq atau jujur atau memiliki integritas yang sangat tinggi; fathonah atau kecerdasan—tentu saja Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam adalah orang yang memiliki multiple intelligence; dan tabligh—kemampuan berkomunikasi yang handal.
Seorang mukmin yang “haqqan”—sesungguhnya, sebenarnya—adalah mukmin yang beridealis dan berkomitmen untuk menjadikan empat sifat teladan: FAST, fathonah, amanah, shiddiq, dan tabligh. Inilah sumber semangat hidupnya. Dengan empat sifat teladan ini, kita harus terus membentuk dan mengembangkan diri untuk menjadi orang yang selalu bersemangat membangun dunia ini dengan kemaslahatan untuk semua. Tetapi, kita sadar bahwa kondisi saat ini sedang dipenuhi oleh kezhaliman yang sistematis di berbagai segi dan aspek kehidupan.
Sikap amanah sudah mulai tercabut dari hati nurani sebagian orang. Sikap yang muncul dan mendominasi kehidupan manusia sekarang adalah berkhianat kepada orang lain. Dalam bisnis, semangat berkhianat menjadi menu bisnis kapitalis modern. Demikian pula dalam politik, sosial, pendidikan. Apa yang terjadi belakangan, sesungguhnya, sudah pernah diprediksi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam. Dalam hal ini, Hudzayfah al-Yamani Radhiyallahu ‘Anhu mengemukakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam menyampaikan dua hadis kepada kami. Salah satu dari dua hadis itu sudah aku ketahui isinya, dan aku sedang menunggu satu hadis lagi yang aku tidak tahu isinya.
Beliau, masih menurut Hudzayfah al-Yamani Radhiyallahu ‘Anhu, memberitahu kami bahwa ”amanat itu akan dicabutnya dari kalian. Ada seseorang yang sedang tidur sejenak. Lalu, amanat dicabut dari dalam hatinya sehingga bekasnya hanya tersisa sedikit. Lalu, ia pun tidur lagi sejenak, dan dicabut pula amanat dari dalam hatinya sehingga bekasnya hanya titik-titik seperti bara api yang digelindingkan di atas kakimu. Karena bara api yang panas itu, timbullah bengkak sehingga kulit pun melepuh, sedangkan kalian tidak melihat bekas apa pun”. Beliau lalu mengambil batu-batu kecil, dan digelindingkan di atas kaki beliau.
Tidak lama setelah itu, orang-orang yang di sekeliling beliau segera saling berbaiat. Saat itu, hampir tidak ada satu pun orang yang menunaikan amanat. Lalu, dikatakan bahwa di suku fulan ada seseorang yang dapat dipercaya. Kepada orang yang katanya dapat dipercaya itu dikatakan: “Alangkah sabarnya! Alangkah cerdiknya! Alangkah pandainya dia!”
Padahal, kata Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam, di dalam hati orang itu tidak ada iman sedikitpun—meskipun sebesar biji sawi. Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam juga bersabda: “Sungguh, telah datang kepadaku suatu masa ketika aku tidak memedulikan siapakah di antara kalian yang aku baiat. Jika ia seorang muslim pastilah ia akan menunaikan amanatnya kepadaku karena agamanya. Jika ia seorang Nashrani atau Yahudi pastilah ia melaksanakan amanatnya kepadaku karena usahanya”. Hadis yang diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alayh ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Kisah di atas menjadi salah satu cermin kehidupan modern saat ini. Betapa tidak, sekarang ini, pengkhianatan atas janji dan amanat yang sudah diberikan begitu mudah dilakukan. Simaklah apa yang terjadi di sekitar kita; di kantor tempat kita bekerja; di lingkungan tempat kita menetap dan bermasyarakat; di komunitas tempat kita bersosialiasi; di instansi pemerintahan, atau swasta; dan di berbagai kalangan. Tindakan pengkhianatan itu terus. Haruskah kita berputus asa lalu mendiamkan saja berbagai tindakakn munkar dan khianat itu? Tidak. Kita semestinya peduli untuk mulai melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Lebih tegas, kita harus menjadi bagian dari sekelompok orang yang membela sesuatu yang benar dan baik. Sebagai muslim, kita beruntung menjadi bagian dari umat terbaik yang dilahirkan oleh Allah untuk manusia. Kita pun bersyukur dan berbahagia karena, saat ini, dijadikan oleh Allah orang yang nuraninya masih bercahaya. Umat terbaik disebut oleh Alquran sebagai khayru ummat.
Sebutan Allah kepada kaum mukmin sebagai khayru ummah merupakan sebutan yang prestisenya sangat tinggi di sisi manusia, dan makhluk lainnya. Selain khayru ummah, Allah juga menyebut kita sebagai al-a’lawn—umat yang tertinggi derajatnya. ”Janganlah kamu bersikap lemah; dan janganlah pula kamu bersedih hati karena kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya” (QS Ali Imran, 139). Apa yang dimaksud khayru ummah atau terbaik itu? Siapakah mereka? Siapa yang melahirkan umat yang terbaik itu? Apa tujuan kelahiran umat yang terbaik itu?
Istilah khayru ummah atau umat yang terbaik merupakan sesuatu yang sangat unik. Sudah banyak mufassir yang mengulas masalah pengertian khayru ummah ini. Kitab tafsir pun bejibun diterbitkan untuk membahas masalah umat yang terbaik. Menurut Tafsir Zaadul Masiir, ada sebuah riwayat hadis yang menyebutkan bahwa ada dua orang Yahudi Madinah yang bertemu dan bertatap muka dengan beberapa sahabat. Dua orang Yahudi Madinah bernama Malik ibn adh-Dhayf dan Wahb ibn Yahdzan al-Yahudiyy. Mereka berkata kepada Abdullah ibn Mas’ud, Salim Mawla Hudzayfah, Ubay ibn Ka’ab, dan Mu’adz ibn Jabal. Apa yang mereka katakan? “Agama dan Tuhan kamilah yang lebih baik daripada Tuhan kalian yang kepada-Nya kalian menyembah. Kamilah yang lebih utama daripada kalian”.
Untuk menjawab klaim mereka—Yahudi Madinah—itu, turunlah ayat ini. ”Kuntum khayra ummatin ukhrijat linnaas ta’muruuna bil ma’ruuf wa tanhawna ’anil munkari wa tu’minuuna billaahi; Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia supaya menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah” (QS Ali Imran, 110). Jika dulu, zaman Rasulullah Shallallahu ’Alayhi wa Sallam dan para sahabatnya masih hidup, ayat ini turun untuk menjawab pengakuan Yahudi Madinah dan mengajak ke jalan yang lurus. Sekarang, ayat ini untuk memiliki makna kontekstual yang lebih luas. Apalagi, tingkat kemungkaran pun sudah sedemikian akut. Siapakah yang dimaksud ”kuntum” yang artinya ”kalian telah menjadi” itu?
Di dalam Tafsir Zaadul Masiir, kata ”kuntum” memiliki empat makna: pasukan perang Badr; kaum al-Muhajirin yang baru hijrah ke Madinah al-Munawaarah; semua sahabat; dan seluruh umat Muhammad Shallallahu ’Alayhi wa Sallam. Pendapat bahwa kata ”kuntum” merujuk pada orang-orang yang berhijrah bersama Rasulullah Shallallahu ’Alayhi wa Sallam ke Madinah berasal dari Abdur Razzaq, Ibn Abi Syaibah, Ibn Hamid al-Faryabi, Ahmad, an-Nasai, Abi Jariri, ibn Abi Hatim, ibn al-Mundzir, ath-Thabrani, al-Hakim dari ibn Abbas Radhiyallahu ’Anhum.
Tentang makna kata ”kuntum” yang sebenarnya, Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim Radhiyallahu ’Anhuma pernah menyebutkan bahwa Umar ibn al-Khatab Radhiyallahu ’Anhum berkata: “Jika Allah menghendaki, kata yang digunakan adalah antum. Jadi, kata kuntum untuk menunjuk para sahabat Rasulullah Shallallahu ’Alayhi wa Sallam dan orang-orang yang berperilaku sama”. Riwayat lain, juga berasal dari Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim, Umar ibn al-Khatab Radhiyallahu ’Anhu juga pernah berkata: “Jadilah kalian orang-orang yang pertama seperti kami—maksudnya adalah menjadi orang yang terdepan dalam perjuangan—dan jangan menjadi orang yang paling akhir” (lihat Tafsir Durul Mantsur).
Di dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa kalimat “kuntum khayra ummatin” adalah ungkapan yang menggambarkan seluruh umat Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam. Mereka inilah yang dikatakan sebagai umat terbaik di sisi Allah. Di dalam Shahih Bukhari diriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari Muhammad ibn Yusuf, dari Sufyan, dari Maysarah, dari Abu Hazim, dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhum bahwa kalimat “kuntum khayra ummatin” merujuk kepada seluruh umat Islam. Arti dari ungkapan “kuntum khayra ummatin” adalah ”khayrannaas lin naas”, manusia terbaik bagi manusia lainnya. Kalian datang kepada mereka dengan membawa ajakan yang benar hingga mereka masuk ke dalam agama Islam.
Makna senada dijelaskan oleh beberapa mufassir lainnya seperti Imam Mujahid, ’Ikrimah, ’Atha’, Rabi’ ibn Anas, dan ’Athiyah al-Awfa Radhiyallahu ’Anhum. Mereka memberi makna bahwa ungkapan “kuntum khayra ummatin” itu berarti ”annahum khayr al-umam wa anfa’un naas lin naas, sesungguhnya kalian adalah umat terbaik yang memberi banyak manfaat bagi orang lain”. Salah satu bukti kemanfaatan itu terletak pada kiprah mereka untuk beramar ma’ruf nahy munkar yang dasar perjuangannya adalah beriman kepada Allah.
Sebuah hadis lain dari Imam Ahmad yang bertutur bahwa Ahmad ibn Abdulmalik memberitahu kami sebuah hadis dari Abdullah ibn ’Umayrah Radhiyallahu ’Anhu. Hadis itu menjelaskan bahwa ada seseorang yang berdiri di hadapan Rasulullah Shallallahu ’Alayhi wa Sallam. Saat itu, Rasulullah Shallallahu ’Alayhi wa Sallam sedang berdiri di atas mimbar untuk berkhotbah.
Kepada Rasulullah Shallallahu ’Alayhi wa Sallam, ia berkata: ”Ya Rasulullah. Siapakah orang yang terbaik itu?”
Rasulullah Shallallahu ’Alayhi wa Sallam bersabda: ”Orang yang terbaik adalah orang yang paling baik di antara mereka, dan orang yang paling takwa kepada Allah. Dia melakukan amar ma’ruf nahy munkar, dan menyambung tali silaturahim”.
Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya; Imam an-Nasa’i di dalam Sunannya; Imam al-Hakim di dalam Mustadrak; sebuah hadis yang berasal dari Sa’id ibn Jubayr dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ’Anhu. Menurut Imam Ahmad, kalimat “kuntum khayra ummatin” merujuk kepada orang-orang yang berhijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam dari Makkah al-Mukarramah ke Madinah al-Munawwarah. Makna ini sejalan atau semakna dengan yang sudah dikemukakan di atas.
Kitab tafsir lain, yaitu Aysar Tafaasir, mengartikan ungkapan “kuntum khayra ummatin” dengan makna wujud yang teristimewa dan diberkahi bagi umat Islam yang ada di atas bumi; sedangkan ungkapan “ukhrijat linnaas” diartikannya sebagai ”ditampakkan, diperlihatkan, dan dibuktikan” sedemikian jelas sebagai hadiah bagi manusia yang akan memberi mereka banyak manfaat, dalam rangka menemukan dan meraih kehidupan yang baik—hayaatan thayyibah.
Di dalam kitab Tafsir al-Baghawi disebutkan, ’Ikrimah dan Muqatil ibn Sulaiman berkata bahwa penurunan ayat ini—khususnya kalimat “kuntum khayra ummatin”—berkaitan erat dengan sebuah peristiwa; dan peristiwa yang dimaksud adalah kedatangan dua orang Yahudi Madinah bernama Malik ibn adh-Dhayf dan Wahb ibn Yahdzan al-Yahudiyy. kisah ini sama dengan yang sudah dikemukakan sebelumnya.
Sa’id ibn Jubayr dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ’Anhu meriwayatkan bahwa makna ”kuntum khayru ummatin ukhrijat linnaas” itu berarti orang-orang yang berhijrah bersama Nabi Muhammad Shallallahu ’Alyhi wa Sallam dari Makkah ke Madinah. Pengertian ini didukung oleh pendapat adh-Dhahak yang mengatakan bahwa ”kuntum” adalah para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ’Alyhi wa Sallam karena mereka inilah orang-orang yang merespon seruan Allah dan Rasul-Nya, serta menaati apa yang mereka diperintahkan oleh keduanya.
Menurut pengarang Tafsir al-Mishbah, Prof. Dr. Quraish Shihab, kata “kuntum” memiliki makna yang sangat istimewa. Penggunaan kata ”kuntum” sebelum kata ”khayra ummah” bukan tanpa arti. Setidaknya, kata ”kuntum”—yang berasal dari kata ”kaana”—memiliki dua makna. Satu, kaana tammah—maknanya, wujud umat yang sempurna atau terbaik. Dua, kaana naqishah—maknanya, wujud sesuatu yang terjadi pada masa lampau yang tidak diketahui kapan itu terjadi. Makna ini mengandung isyarat bahwa umat terbaik itu pernah tidak ada, atau suatu ketika ia akan tiada kembali. Maksudnya, dulu kalian adalah umat yang terbaik. Tetapi, generasi setelahnya, bisa baik atau sebaliknya bisa tidak baik alias buruk. Rasulullah Shallallahu ’Alayhi wa Sallam bersabda: ”Sebaik-baiknya generasi adalah generasiku. Lalu, disusul oleh generasi berikutnya, dan seterusnya”.
Jika demikian makna yang dimaksud, berarti penyebutan ”khayru ummah” bersifat relatif dan tentatif. Maksudnya, sebutan ”umat terbaik” itu bisa berlaku dulu, dan bisa berlaku sekarang. Dengan kata lain, sebutan ”khayru ummah” tidaklah bersifat tetap karena ia bisa berubah sesuai dengan ada-tidaknya persyaratan tentang umat yang terbaik. Di sisi lain, ada pula penegasan Alquran bahwa akan muncul generasi buruk yang biasa disebut ”khalfun”. ”Datanglah sesudah mereka pengganti yang buruk; mereka menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya” (QS Maryam, 59).
Jelas sekali bahwa penyebutan khayru ummah atau al-a’lawn bukanlah legitimasi formal yang gratis. Status atau gelar itu membutuhkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh kita, umat Islam sekarang. Simaklah ayat yang menegaskan bahwa ”antum al-a’lawn in kuntum mu’miniin, kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman” (QS Ali Imran, 139). Kata ”in kuntum mu’miniin” itulah yang menjadi syarat hadirnya ketinggian derajat umat Islam sekaran di sisi Allah. Itu berarti, ketiadaan iman yang benar kepada Allah, secara otomatis, akan menanggalkan derajat yang mulia dan agung itu. Lalu, pantaskah umat Islam sekarang disebut sebagai ”khayru ummah” yang ideal sebagaimana bunyi ayat itu?
Kata ”ummat” biasa diartikan sebagai kelompok yang dihimpun oleh sesuatu. Sesuatu itu biasa berkaitan dengan keberadaan waktu yang sama, atau tempat yang sama. Bisa juga sesuatu itu adalah kepentingan (interest). Sebatas itukah yang menjadi pengikat kebersatuan individu dengan individu lainnya sehingga menjadi sebuah umat? Tidak. Segala jenis ikatan apa pun yang sifatnya ”duniawi” akan terikat oleh hukum kefanaan. Dalam hal ini, kepentingan pun tidaklah abadi. Ia akan berubah sumber konflik ketika kepentingan itu terganggung oleh sesuatu hal.
Di dalam pengertian kata ”umat”, ada ikatan persamaan yang menyatukan makhluk hidup. Menurut Tafsir al-Mishbah, pengikat makna kebersatuan individu hingga bisa bersatu sebuah umat dipengaruhi oleh dua faktor. Satu, waktu atau masa ketika seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bersama. Simaklah penjelasan Alquran ”qaala al-ladzii najaa minhumaa waddakara ba’da ummatin, orang yang selamat di antara mereka berdua itu berkata dan teringat kepada Yusuf sesudah beberapa waktu” (QS Yusuf, 45). Kata ”ba’da ummatin” diartikan tidak sebagai ”setelah umat” melainkan ” sesudah beberapa waktu”.
Dua, kata ”ummatin” yang diartikan sebagai gaya dan cara hidup seseorang atau sekelompok orang. Simaklah ayat yang menyatakan ”Innaa wajadnaa abaa-anaa ’alaa ummatin wa innaa ’alaa aatsirihim muhtadiin, sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejaknya” (QS az-Zukhru, 22). Kata ”’alaa ummatin” diartikan sebagai ” menganut suatu agama”. Dalam hal ini, agama bisa diartikan sebagai cara atau gaya seseorang dalam menjalankan kehidupan karena agamalah yang sangat mempengaruhinya dalam berbagai hal. Lalu, apakah pengertian umat hanya untuk makhluk bernama manusia?
Tidak. Karena Alquran juga menggunakan istilah umat untuk makhluk hidup lainnya; misalnya hewan. ”Maa min daabbatin fil ardhi wa laa thaairi yathiiru bi janaahayhi ilaa umaamun amtsaalakum, tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya itu melainkan umat juga seperti kamu” (QS al-An’am, 38). Kalimat ” ilaa umaamun amtsaalakum, melainkan umat juga seperti kamu” menjadi bukti bahwa kata umat bisa juga digunakan untuk menyebut sekelompo binatang. Simpulannya, jenis umat dibagi dua: manusia dan binatang. Bahkan, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menyebutkan bahwa “Semut yang berkeliaran juga umat dari umat-umat Tuhan”. Menurut makna sosiologi—seperti yang dikutip oleh Tafsir al-Mishbah, umat diartikan sebagai ”Himpunan manusia yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah yang sama, bahu membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama”.
Dari ayat yang sudah dijelaskan di muka disebutkan bahwa ”Kuntum khayra ummatin ukhrijat linnaas, kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia”. Kita bertanya, mengapa kata kerja yang digunakan oleh ayat bernada pasif, ”ukhrijat, dilahirkan”; bukan ”akhraja, melahirkan”? Inilah keunikan yang sekaligus menunjukkan keagungannya. Di dalam kata kerja aktif (fi’il madhi ma’lum), yaitu ”akhraja” yang salah satu artinya adalah mengeluarkan, menyebutkan adanya subjek. Sebaliknya, kata kerja pasif (majhul), yaitu ”ukhrijat” tidak menyebutkan subjeknya secara ekplisit. Penggunaan kata kerja pasif untuk menarik perhatian orang yang diajak bicara—Rasulullah Shallallahu ’Alayhi wa Sallam dan seluruh umat Islam—bahwa mereka harus fokus pada tugasnya sebagai khayru ummah, bukan pada ”pemberi tugas”, yaitu Allah.
Penggunaan kata kerja pasif seperti ini serupa dengan ayat di surat lain. Sebut saja, ayat yang bercerita tentang proses kiamat dan prosesi hisab. Simaklah ayat yang menyatakan ”tsumma latus-alunna yawmaidzin ’anin na’iim; lalu, kalian pasti akan dimintai pertanggung-jawaban pada hari itu tentang kenikmatan yang kamu megah-megahkan di dunia itu” (QS at-Takatsur, 8). Di dalam kata ”latus-alunna” ada penggabungan kata kerja dan haraf taukid. Dalam hal ini, keberadaan “la” dan “nna” menjadi penegas dan penekan tentang kepastian adanya hari pertanggung-jawaban itu.
Simpulannya, Allah menggunakan kata ”ukhrijat” agar setiap mukmin yang diajak bicara lebih fokus pada tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakannya sebagai khayru ummah. Ia tidak perlu bertanya siapa yang memberi tugas dan tanggung jawab itu. Karena pemberi tugas dan tanggung jawab itu sudah sangat jelas, yaitu Allah. Tentang masalah ini, Tafsir al-Maraghi menyatakan pendapatnya tentang makna penyebutan khayru ummah kepada uma Islam.
Kaliam adalah umat yang paling baik di alam wujud sekarang karena kalian melakukan amr ma’ruf nahy munkar. Kalian adalah orang-orang yang beriman secara benar; yang bekasnya tampak jelas dari jiwa kalian sehingga terhindarlah kalian dari kejahatan; dan kalian mengarah pada kebaikan. Padahal, sebelumnya, kalian ini umat yang dilanda kejahatan dan kerusakan. Bahkan, kalian tidak melakukan amr ma’ruf nahy munkar dan tidak beriman secara benar.
Gambaran sifat ini sangat cocok dengan keadaan orang-orang yang mendapatkan khitbah (pembicaraan) ayat ini pada permulaannya. Mereka adalah Nabi Muhammad Shallallahu ’Alayhi wa Sallam dan para sahabat sewaktu Alquran diturunkan. Pada masa sebelumnya, mereka adalah orang-orang yang saling bermusuhan; lalu, hati hati mereka dilunakkan dan dirukunkan. Mereka berpegang teguh pada tali agama Allah, ber amr ma’ruf nahy munkar. Orang-orang yang lemah di antara mereka tidak takut terhadap orang-orang yang kuat. Orang-orang yang kecil pun tidak takut kepada orang-orang yang besar. Karena iman telah meresap ke dalam kalbu dan perasaan mereka sehingga bisa ditundukkan untuk mencapai tujuan Nabi Muhammad Shallallahu ’Alayhi wa Sallam di segala kondisi.
Di atas sudah dikemukakan bahwa legalitas sebutan ”khayru ummah” itu bersifat relatif dan tentatif—masih harus diuji kevalidannya. Tentu saja, penguji itu adalah Allah sendiri. Artinya, ungkapan “kuntum khayra ummatin” bisa berubah, dan perubahan itu bergantung pada ada-tidaknya persyaratan yang Allah tetapkan kepada umat-Nya. Mengingat status dan derajat ”khayru ummah” dan ”al-a’lawn” itu sangat prestisius, sebagai bagian dari umat mukmin, kita semestinya harus terus berjuang agar status itu dapat kita pertahankan. Berkaitan dengan upaya inilah, kita harus menyimak penafsiran afirmatif-agresif dari seorang mufassir kontemporer asal Mesir, Sayyid Quthb dalam kitabnya, Fi ZhilaalilQuran.
Inilah persoalan yang harus dimengerti oleh umat Islam agar mereka mengetahui hakikat diri dan nilainya. Umat Islam juga harus mengerti bahwa mereka itu dilahirkan untuk maju ke garis depan. Mereka harus memegang kendali kepemimpinan karena mereka adalah umat yang terbaik. Allah menghendaki supaya kepemimpinan di muka bumi ini untuk kebaikan, bukan untuk keburukan dan kejahatan kemanusiaan, lebih-lebih kejahatan kepada aturan Allah. Karena itu, kepemimpinan tidak boleh jatuh ke tangan umat lain dari kalangan umat dan bangsa Jahiliah.
Kepemimpinan itu hanya layak diberikan kepada umat yang Allah berikan untuknya karena karunia yang telah diberikan kepadanya: akidah, pandangan, peraturan, akhlak, pengetahuan, dan ilmu yang benar. Inilah kewajiban mereka sebagai konsekuensi kedudukan dan tujuan keberadaannya, yaitu kewajiban untuk berada di garis depan dan memegang pusat kendali kepemimpinan. Kedudukan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi karena hal ini bukan sekadar pengakuan hingga tidak boleh diserahkan kepada siapa pun, kecuali kepada yang berkompeten. Umat ini—dengan persepsi akidah dan sistem sosialnya—layak mendapatkan kedudukan dan kepemimpinan itu; berikua dengan segala kemajuan ilmu dan pemakmurannya terhadap bumi sebagai hak khilafah yang harus ditunaikan.