Kasih Sayang Allah yang Tak Berbilang 2

Rahmat Allah yang keluar dari sifat ar-Rahim hanya khusus diperuntukkan bagi kaum Mukmin yang taat. Dengan rahmat-Nya, Allah memberi keistimewaan kepada seseorang setelah ia lebih dulu berjuang dengan nafsunya agar hanya menaati aturan-Nya. Ia percaya dan sangat yakin bahwa janji-Nya tidak akan pernah diingkari. Janji yang diyakini kebenarannya itulah yang telah menjadi daya dorong seseorang untuk mengorbankan dirinya demi mendapatkan ridha dan cinta Allah. “Di antara manusia ada orang yang mengorbankan diri karena ingin mencari keridhaan Allah” (QS al-Baqarah, 207). Kepada orang seperti mereka inilah rahmat Allah dari sifat ar-Rahim itu akan turun.

Allah menurunkan rahmat-Nya kepada seorang petani sukses di salah satu daerah di Provinsi Jawa Barat. Petani ini sangat dermawan dan berakhlak mulia. Karenanya, ia pantas untuk mendapat curahan rahmat Allah. Meskipun “hanya” seorang petani, sikanya melebihi seorang pengusaha yang kaya raya. Ia rela mengorbankan hartanya untuk membantu orang yang sangat membutuhkan, sekalipun ia mengurungkan niatnya untuk menunaikan haji.

Sebut saja namanya Pak Ahmad Rozak. Ia petani desa yang rajin dan ulet. Bertahun-tahun ia megumpulkan dan menabung uang. Ia sangat berharap, uang yang ditabungnya itu suatu kita dapat mengantarkannya untuk berangkat ke Tanah Suci, Makkah; dan menunaikan ibadah haji. Hatinya sudah mantap untuk menunaikan rukun Islam kelima itu.

Sepeser demi sepeser rupiah pun mulai bertambah. Beliau juga sering memantapkan hati istrinya untuk tetap yakin kepada Allah bahwa Dia akan memberi izin-Nya. Kepada anak-anaknya yang sebagian besar sudah dewasa pun beliau sering menjelaskan masalah rencana keberangkatan itu. Bahkan, anak-anaknya merasa bahagia dan bangga karena, pada akhirnya, dua orang tua mereka berniat untuk beribadah haji.

Sementara itu, teman dekat Pak Ahmad Rozak yang bernama Pak Darajat juga berangkat bersama istrinya; tahun ini juga. Sudah beberapa kali Pak Ahmad Rozak dan Pak Darajat bertemu muka untuk berdiskusi tentang berbagai hal yang menyangkut haji. Setiap kali Pak Darajat bertanya tentang rencana keberangkatan haji, Pak Ahmad Rozak hanya menjawab jika Allah menghendaki. Jawaban ini terungkap karena Pak Ahmad Rozak belum sepenuhnya bisa mengumpulkan biaya yang harus disiapkan.

Beberapa waktu setelah Pak Ahmad Rozak dan istri sudah mendapatkan porsi, dan beliau resmi berangkat tahun itu juga berdasarkan data dari Depag Kota setempat; beliau segera menyiapkan uang untuk pelunasannya. Rencananya, uang sebesar sekitar tiga puluhan juta yang sudah disiapkannya itu  untuk biaya pelunasan haji. Uang itu sudah ada di tangan, dan tinggal disetorkan ke bank yang penerima setoran haji.

Sorenya, datanglah salah seorang tetangga ke rumah beliau. Ia menuturkan tentang biaya pengobatan anaknya yang harus segera dioperasi. Jika tidak segera dioperasi, nyawa anaknya tidak akan tertolong—tentu saja masa kematian hanya Allah yang bisa menentukan. Mendengar penuturan tetangga yang tertimpa musibah berat itu, hati Pak Ahmad Rozak terenyuh. Tanpa berdiskusi panjang lebar dengan anaknya, beliau langsung menyanggupi permintaan orang itu.

Saat itu juga, Pak Ahmad Rozak menyerahkan uang yang dimaksud. Di sampingnya, ada istrinya yang memperhatikan dan memberi izin atas apa yang beliau lakukan kepada tetangganya itu. Di sisi lain, anak-anaknya tak seorang pun yang tahu bahwa ayahnya telah membantu tetangganya dengan memberikan uang yang semula diperuntukkan bagi keberangkatannya ke tanah suci. Namun, pada akhirnya, Pak Ahmad Rozak menceritakan pula tindakan yang telah dilakukannya kepada tetangganya.

Pada mulanya, anak-anaknya menolak apa yang dilakukan ayahnya. Tetapi, setelah mendapatkan panjang lebar tentang hakikat haji, anak-anaknya pun sepakat atas apa yang dilakukan ayahnya. Mereka bersepakat pula bahwa apa yang dilakukan ayahnya itu tidak akan diceritakan kepada siapa pun. Cukuplah Allah yang mengetahui niat Pak Ahmad Rozak. Sementara itu, Pak Darajat tidak tahu bahwa Pak Ahmad Rozak belum bisa berangkat ke tanah suci karena sesuatu hal.

Singkat kata, dengan izin Allah, Pak Darajat akhirnya berangkat ke tanah suci, Makkah al-Mukarramah, bersama istrinya. Beliau merasakan kedamaian hati karena bisa mencium Hajar Aswad. Seluruh rangkaian Haji dan Umrah dilaksanakan oleh Pak Darajat dan istrinya dengan sukacita ruhani yang sangat tinggi. Beliau juga sempat mengkhatamkan Alquran, setidaknya dua kali selama beliau dan istri bermukim di Makkah al-Mukarramah.

Baginya pengalaman ruhani selama haji ini sangat dinikmatinya. Lebih-lebih, Shalatul Lail tidak beliau tinggalkan. Shalat di Masjidil Haram di Makkah dan juga di Madinah selalu dilaksanakan setiap saat. Beliau juga merasakan kenikmatan ruhani yang luar biasa indah. Demikian pula istrinya yang shalihah.

Usai pulang kembali ke Indonesia, orang pertama yang ingin segera dikunjunginya adalah Pak Ahmad Rozak. Maka, Pak Darajat pun segera beranjang sana ke rumah Pak Ahmad Rozak. Di jalan, Pak Darajat bertemu dengan salah seorang anak dari Pak Ahmad Rozak. Pak Darajat bertanya kepadanya: “Apakah Bapak sudah pulang dari Makkah?”

“Selama ini, Bapak tetap ada di rumah. Beliau tidak bepergian. Bahkan, haji pun diundurkan,” timpal anak Pak Ahmad Rozak dengan nada terheran-heran atas apa yang ditanyakan oleh Pak  Darajat.

“Bagaimana mungkin? Saya melihatnya sendiri di Masjidil Haram. Kami bertatap muka, dan bahkan sempat berbincang-bincang.”

“Tetapi, saya tidak mungkin bohong. Bapak saya masih ada di rumah, Pak. Beliau tidak pernah bepergian jauh; selain ke sawah”

“Dan, saya pun tidak mungkin bohong bahwa saya telah melihat Pak Ahmad ada di Masjidil Haram” jawab Pak Darajat sebelum anak Pak Ahmad itu berbicara lebih lanjut.

Demikianlah. Allah telah menurunkan rahmat-Nya kepada Pak Ahmad Rozak. Jiwanya yang tulus-ikhlas untuk membantu tetangganya karena Allah dengan uang tabungan hajinya telah menjadi pintu pembuka datangnya kasih sayang Allah kepadanya. Beliau sudah menjadi haji mabrur (hajjan mabrurr), kendatipun belum melaksanakan syariat hajinya. Inilah yang disebut rahmat Allah karena sifat ar-Rahim-Nya. Jelas sekali bahwa rahmat Allah dari sifat ar-Rahman ini adalah hasil dari iman dan amal shaleh. Apa yang dialami olah Pak Ahmad Rozak juga dialami oleh seorang pemuda pembunuh yang bertobat kepada Allah. Sebuah hadis menuturkan tentang seorang pemuda pembunuh yang bertobat kepada Allah.

About Usin S Artyasa

Aku adalah editor, instruktur terjamah Al Quran. Saat ini, sedang menempuh pendidikan magister manajemen di Program Pasca-Sarjana Universitas Widyatama Bandung.
This entry was posted in Hikmah and tagged , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment