Al Quran dan Penilaian Kinerja

Sebuah mobil keluaran baru, baru saja dibeli oleh sebuah keluarga muda. Esoknya, mobil itu dikendarai menuju kampung halaman. Penumpang yang ada di dalamnya lebih dari empat orang. Belum lagi, barang-barang bawaan yang lumayan banyak. Maklum, orang kaya baru yang hendak ke kampung halaman, dan sedikit narsis. Mereka ingin disebut sebagai orang sukses. Dengan barang bawaan yang penuh, belum orang-orang yang bobot badannya besar-besar, menjadikan beban yang harus diangkut oleh mobil itu cukup berat.

Karena euphoria yang berlebihan, menyambut mobil baru, para penumpang, lebih-lebih si sopir yang tidak lain adalah suami dan atau kepala keluarga, mereka lupa bahwa bensin belum mereka isi penuh. Sisa bensin yang ada hanyalah pemberian subsidi dari dealer. Dalam perjalanan panjang yang harus meleati perbukitan, pom bensin nyaris tidak ada. Akhirnya, mobil itu pun terhenti. Diam. Mogok. Seluruh penumpang kecewa; terutama anak-anaknya yang berusia remaja.

Cerita di atas bukanlah rekayasa, tetapi benar-benar pernah terjadi. Adakah hakikat dan nilai kehidupan ini dengan mogoknya mobil yang kehabisan bahan bakar? Ada. Diri kita adalah kandidat yang telah dan sedang melaksanakan tugas dan kewajiban di kantor atau instansi tempat kita mencari nafkah. Anggap saja kita ini dianalogikan sebagai sebuah mobil. Mobil hanya bisa bergerak, bahkan dengan kecepatan tinggi, jika bahan bakar yang digunakan sebagai pembakar mesin berjumlah memadai. Mesin pun baru bisa mendorong roda jika sudah terjadi pembakaran, dan gasnya ditancap.

Demikianlah, kehidupan kita pun, boleh jadi, suatu ketika mengalami kemandegan. Stagnasi. Ide kita mati. Kreativitas tidak bergerak sama sekali. Pendeknya, kita mati kutu karena motivasi yang lemah. Sikap kita hanya mencerca keadaan. Perilaku kita lebih cenderung negatif.

Bensin untuk mobil diibaratkan motivasi hidup bagi kita. Bensin adalah bahan bakar mobil, dan motivasi adalah bahan bakar hidup kita. Memang, mobil tanpa bahan bakar masih bisa berjalan mulus di turunan. Tetapi, ketika mobil itu harus menempuh jalan yang menanjak, berkelok, dan berliku, mobil membutuhkan bahan bakar yang cukup. Pembakarannya pun harus stabil. Dengan bahan bakar yang memadai, dan dengan sistem pembakaran yang baik, mobil akan berjalan dengan baik, dan mengantarkan penumpangnya sampai tujuan.

Adakah orang yang selama hidupnya tidak pernah mengalami kesulitan, hatta dengan tugas-tugas di kantor? Tidak. setiap diri kita pasti pernah menghadapi dan harus segera menyelesaikan pekerjaan yang sulit dan rumit. Sebagai homosapiens, Allah sudah memberi kita sebuah alat yang disebut akal-otak. Akal inilah yang harus difungsikan seoptimal mungkin untuk berpikir dan mencari solusi yang tepat.

Jika kita berada di dalam sebuah organisasi, dan menghadapi pekerjaan yang sulit dan rumit, sementara penyelesaiannya dituntut segera, kita tidak bisa mengandalkan orang yang biasa-biasa saja. Kita membutukan pribadi-pribadi yang tergolong memiliki high-performer, performa atau kinerja yang tinggi. Orang dengan kinerja tinggi itu adalah orang yang mampu menghadapi situasi jalan yang tidak saja mulus dan lurus, tetapi turunan dan tanjakan, yang berkelok tajam sekalipun. Mereka adalah orang-orang yang  tetap tegar dan sanggup menghasilkan kinerja yang luar biasa; sekalipun berada dalam situasi yang tidak pasti (uncertainty).

Kemampuan dan ketegaran menghadapi situasi yang tidak pasti ini ada karena jiwa yang tercelup oleh optimism yang kokoh. Di dalam hati mereka selalu ada harapan bahwa esok itu akan lebih baik, wal âkhiratu khayr laka minal ûlâ”. Akal mereka juga sudah dipenuhi oleh segenggam metode atau cara praktis untuk mencari pemecahan masalah yang dianggap lebih tepat. Singkatnya, mereka memiliki knowledge, skill, dan attitude yang memadai.

Namun, kita harus menyadari bahwa pengetahuan, keterampilan, sikap mental, dan pengalaman kerja bukanlah penentu sukses dan gagalnya satu-satunya bagi seseorang. Masih ada faktor lain yang harus didalami. Sejujurnya, kita harus mampu meletakkan bobot dan beban yang sama besarnya terhadap ketika aspek tersebut: ‘sikap’, karakter kepribadian dan “passion”.

Setiap diri harus menyadari bahwa hambatan dan tantangan di dalam pekerjaan, ada di mana pun. Saat kita menjadi karyawan, kita harus siap mendapat teguran dari atasan, jika lalai. Saat kita menjadi usahawan, kita harus siap menghadapi rewelnya pelanggan yang selalu ingin dimanja. Saat kita bekerja kepada orang lain, kita harus juga siap menghadapi perbedaan dengan relasi kerja, bahkan konflik dengan teman sekerja. , Bahkan, sebelum kita tiba di kantor pun, kita harus siap menghadapi kemacetan yang tak kunjung selesai dan membuat kita selalu stress setiap hari. Singkatnya, ada banyak peristiwa yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Jadi, dalam bekerja dan menapaki hidup ini, pengetahuan saja tidaklah cukup. Tetapi, kita harus memiliki konsistensi untuk melakukan penyelidikan, penelusuran, dan pencarian informasi untuk kemudian dianalisis seefektif mungkin sehingga kita siap menghadapi hambatan apa pun yang ada di depan mata.

Banyak riset menyebutkan bahwa tidak ada korelasi antara pertambahan usia dengan pertambahan sikap bijak. Korelasi yang ada hanyalah antara pertambahan informasi dan pengetahuan dengan pertambahan sikap bijak dan matang dalam menghadapi sebuah persoalan. Karena alasan itu, banyak di antara kita yang sudah berusia lanjut atau dewasa, tetapi, mereka belum terlatih dalam menghadapi problematika itu. mereka acapkali terjebak ke dalam gejala-gejala ‘halo efek’, yaitu kita terpengaruh oleh kesan pertama masalah yang ada. Stereotype dan stigma bahwa sebuah masalah tidak akan terlesaikan, sudah bercokol di dalam benak dan hati kita.

Kita tidak berusaha untuk menemukan sesuatu yang memukau atau kualitas tertentu yang ada di dalam diri kita, dan diri orang lain. Seringkali, impresi yang tumbuh dan muncul dari sesuatu yang terjadi hanya berdasarkan ‘gut feeling’. Akibatnya, kita tidak memiliki kesempatan dan kemampuan untuk menyusun masalah secara terstruktur, berikut solusi yang harus dimunculkan. Kretivitas dan inovasi untuk mencari penyelesaian masalah pun tidak. Padahal, untuk menggali dorongan, kreativitas, rasa ingin tahu, keraguan dan keyakinan diri, kita dituntut tidak saja berkemampuan untuk menyusun strategi yang jitu, sekaligus menguasai teknik-teknik penyelesaian masalah. Kita juga dituntu untuk mampu menciptakan suasana kondusif di dalam emosi kita, dan lingkungan kita. Maka, cara terbaik untuk itu adalah semangat untuk membuka diri (opened mind) dan siap menampilkan kekurangan dan kelebihannya. Akan terlalu mahal biaya yang harus ditanggung jika untuk menyelesaikan segala problematika ini kita masih saja menggandalkan “feeling”, apalagi trial and error.

Langkah awal terbaik yang sebaiknya kita lakukan, baik sebagai pekerja, pebinis, maupun sebagai pribadi, adalah melakukan penilaian terhadap diri sendiri (self-assesment). Mengapa kita harus melakukan penilaian kinerja diri, baik sebagai hamba maupun sebagai pekerja? Karena Allah menyuruh kita untuk melakukan hal itu. Allah berfirman dalam QS 9: 105: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (bersambung)

Sebagai agama universal, yang konten ajaran tidak pernah lekang oleh waktu, atau lapuk oleh zaman, dengan basisnya Al Quran, Islam sudah mengajarkan kepada umatnya bahwa kinerja harus dinilai. Ayat yang harus menjadi rujukan penilaian kinerja itu adalah surat at-Tawbah ayat 105.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ،

Dan, katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka, Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

 Kata “i’malû” berarti beramallah. Kata ini juga bisa berarti “bekerjalah”. Menurut beberapa mufasir, ada perbedaan makna di antara beberapa kata. Kata “i’malû” lebih berdimensi khusus (bernuansa akhirat, atau karena ada nilai tersendiri). Kata ini berbeda dengan kata “if’alû” yang lebih bernuansa dunia, meskipun secara bahasa, keduanya memiliki arti yang sama: bekerja, atau bertindak.

Kata “sayara” berarti melihat secara detil. Sebuah kamus mengartikan kata ini dengan makna “tasayyara al-jild”, mengelupasi kulit, menguliti, membreak-down. Dengan makna ini, kata “sayara” bisa juga diartikan sebagai tindakan “mengevaluasi, atau menilai’ dengan melakukan perbandingan antara rencana kegiatan dan hasil yang telah diperoleh.

Kata “‘amalakum”berarti amalmu atau pekerjaan. Kata ini bisa berarti “amalan di dunia yakni berupa prestasi selama di dunia”. Dalam bahasa manajemen, hasil dari amalan atau pekerjaan itu adalah kinerja, performance. Jadi, ungkapan “sayarallâhu ‘amalakum wa rasûluhû wal mu’minûn” sejatinya adalah pelaksanaan performance appraisal. Yang perlu diperhatikan, pengungkapan kata “Allah, Rasul, dan Mukmin” (yang dalam bahasa Arab menggunakan i’rab rafa’, sebagai subjek), berarti para penilai itu tidak saja Allah, tetapi juga melibatkan pihak lain, yakni Rasul dan kaum Mukmin. Dalam bahasa manajemen, penilaian melibatkan pihak lain ini biasa disebut penilaian 360o degree.

Performance appraisal is the process of evaluating employees’ performance (e.g., behaviors) on the job. A systematic review of an individual employee’s performance on the job which is used to evaluate the effectiveness of his or her work (Muchinsky, 1993).

Evaluasi formal dan sistematis tentang seberapa baik seseorang melakukan tugas dan memenuhi peran dalam organisasi (Bittel, 1996). Penilaian kinerja juga bisa diartikan sebagai “proses organisasi yang mengevaluasi prestasi kerja karyawan terhadap pekerjaannya” (Blanchard dan Spencer, 1982).

Kinerja (performance) à perwujudan dari bakat dan kemampuan (capability); atau hasil nyata dari kompetensi seseorang; dari sisi jabatan à hasil yang dicapai karena fungsi jabatan tertentu pada periode waktu tertentu (Kane, 1986: 237). Kinerja à perkalian antara kapasitas dan motivasi (Muhammad Arifin, 2004).

Mengapa organisasi harus melakukan performance appraisal?

  • Enhance the quality of organizational decisions.
  • Enhance the quality of individual decisions (e.g., career choices, strengths and weaknesses, etc…).
  • Influence employees’ views of and attachment to the organization.
  • Provides a legal basis for organizational decisions (identifying training or development needs; determining merit pay increases or salary review; determining performance based bonuses).

Tidak hanya teori dari kalangan ahli manajemen, ratusan yang lalu, Rasulullah Saw. sudah mengingatkan akan pentingnya melihat hasil kerja atau amal seseorang. Hal ini dibuktikan oleh sebuah hadis dari Imam Ahmad, dari Anas ibn Malik ra., Rasulullah Saw bersabda: “Lâ ‘alaykum an ta’jabû bi ahadin hattâ tanzhurû bi mâ yakhtimu lahû, kalian tidak perlu merasa takjub (bangga) atas seseorang hingga kamu melihat sesuatu yang dihasilkannya”. Jelas sekali bahwa ungkapan “hattâ tanzhurû bi mâ yakhtimu lahû” merujuk pada kinerja, hasil kerja seseorang.

Hadis lain yang berasal dari Abu Sa’îd ra., Sa’îd ibn Sa’âd ibn Malik al-Khudri ra., menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Innallâha mustakhlifukum fî hâ fa yanzhura kayfa ta’amalûn” (HR Muslim). Ungkapan “kayfa ta’amalûn” menjadi bukti bahwa Allah pun akan menilai cara kerja kita, termasuk dalam bekerja sebagai wujud dari “hablun minan nâs”.

Setelah bekerja dan beramal, seluruh penilaian itu akan dikembalikan kepada Allah untuk mendapatkan hasil; baik atau buruk. Ungkapan “saturaddûna” yang bermakna “kelak kalian akan dikembalikan” adalah buktinya. Ungkapan ini menunjuk pada kepastian adanya “hari kebangkitan”. Maknanya, dalam Islam, amalan (ritual atau sosial, muamalah), termasuk bekerja sebagai karyawan atau pebisnis selalu bernuansa akhirat karena pertanggungjawabannya tidak saja dalam konteks dunia, tetapi juga sampai akhirat.

Lalu, setelah sampai di akhirat, Allah melakukan “yunabbi-ukum” , yaitu memberitakan atau mengabarkan kepada setiap manusia. Artinya, hasil dari penilaian itu akan disampaikan kepada semua orang sebagai pelaksana, untuk kemudian mendapatkan kompensasi atau balasan (ujrah). Reward and punishment pasti diberlakukan. Dalam bisnis modern pun, pemberian kabar ini biasanya melalui press release yang disebarkan ke semua bagian. Paling tidak, melalui cara ini, semua karyawan mengetahui siapa saja yang telah melakukan perbaikan diri sehingga mendapatkan kinerja yang baik, dan siapa yang saja yang masih memiliki mind-set lama.

Kita sangat tahu bahwa di dalam organisasi bisnis yang sudah besar, manajemen kinerja merupakan sebuah kewajiban yang mutlak. Karena itu, seluruh kru manajemen merasa berkewajiban untuk menyusun dan mengembangkannya dengan mantap dan komitmen tinggi. Masalahnya, adakah ukuran sukses tentang pelaksanaan kinerja seseorang? Kerapkali, ukuran kesuksesan kinerja seseorang yang akan berpengaruh kepada kinerja perusahaan selalu dihubungkan dengan pencapaian KPI (key performance indicator).

Orang yang sukses mengembangkan konsep key performance indicator adalah Robert S. Kaplan dan David P. Norton dalam bukunya The Balanced Scorecard: Translating Strategy into Action, 1996). Dalam hal ini, ada empat indikator utama baik dan tidaknya kinerja seseorang, yaitu finansial, fokus pelanggan, proses bisnis internal, dan grow and learn.

Kita semua tahu bahwa memastikan pencapaian KPI, baik oleh individu maupun perusahaan, merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Bahkan, pencapaian itu sebagai sesuatu yang positif yang harus dihargai oleh perusahaan. Tetapi, kita juga harus sadar bahwa perusahaan akan berada di ambang masalah besar, yang kelak akan berpengaruh pertumbuhannya, bila banyak karyawan merasa berpuas diri dengan pencapaian itu. Harus disadari bahwa ungkapan “Pokoknya, KPI kami sudah tercapai” bisa saja menjadi boomerang bagi seluruh tim.

Dalam kondisi demikian, harus ada pihak-pihak yang selalu menjadi “nâshihun amîn”, penasihat yang terpercaya agar seluruh karyawan tidak terlena oleh pencapaian itu. Sikap mental yang harus dibangun oleh “nâshihun amîn” adalah kokohnya kesadaran bahwa ada hal yang lebih penting yang harus dikembangkan, yaitu komitmen dan disiplin kepada mekanisme yang fleksibel, kemampuan untuk menyusun prioritas, konsistensi untuk mendahulukan kepentingan pelanggan atau fokus pada pelanggan, ketajaman untuk mengendus perubahan pasar yang terjadi, dan mengetatkan atau merapatkan barisan karena serangan kompetitor tidak bisa dijamin oleh pengukuran-pengukuran tersebut.

Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS ash-Shaf, 4). Ayat ini harus menjadi pengingat tentang pentingnya “mengetatkan atau merapatkan barisan karena serangan kompetitor” yang semakin hebat. Namun, agar energi tidak terkuras habis secara sia-sia, kita harus fokus pada kemampuan diri, bukan pada kekuatan kompetitor.

Salah satu cara penguatan diri itu adalah perlu adanya program pengembangan mentalitas entrepreneur. Program ini sejatinya adalah kepedulian perusahaan untuk mengajak setiap individu agar mampu melihat dirinya sebagai profesional yang sukses dan berintegritas kuat. Perlu juga diingatkan bahwa sebuah kesuksesan yang telah diraih akan sambung menyambung dan terus hidup untuk menyambut tantangan baru dan meraih kesuksesan yang baru.

Menurut Glazer, Kanniainnen, dan Poztuara dalam “Initial Luck, Status Seeking, and Snowball Lead for Succes”, kisah sukses (succes story), sekecil apa pun, mirip bola salju untuk dapat melahirkan kesuksesan berikutnya. Salah satu faktor penentunya adalah self-identity (identitas diri). Identitas diri berkembang di dalam struktur dan budaya karena dua faktor, yaitu 1) status, rasa bangga karena menjadi bagian organsiasi; 2) budaya, yaitu kokohnya setiap pribadi terhadap semangat “achievement orientation”.

Simpulannya:

  1. Beramal, dalam arti ritual dan sosial-muamalah, merupakan bagian penting dari eksistensi manusia (survival of the existence; aktualisasi diri). Dalam prakteknya, ada orang yang bermental korban (victim mentality). Ada pula yang bermental pemain (player mentality)—sebaiknya harus menjadi materi pembahasan secara khusus atau tersendiri.
  2. Performance appraisal merupakan sebuah kepastian bagi setiap mukmin. Penilaian yang baik melibatkan harus melibatkan banyak. Hal ini dibuktikan oleh penyebutan “Allah, Rasûluh, dan al-Mu’minûn”. Dalam bahasa manajemen, penilaian “segitiga ini” biasa disebut “penilaian 360 derajat” (atas, bawah, samping kanan, dan samping kiri). Penilaian yang hanya dilakukan oleh atasan acapkali tidak objektif, bahkan cenderung terjadi “conflict of interest”. Indikator kinerja (key performance indicator) dikemukakan oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton (The Balanced Scorecard: Translating Strategy into Action, 1996): finansial, fokus pelanggan, proses bisnis internal, dan grow and learn. KPI dalam Islam: al-matâ’ud dunyâ (QS 3: 14), hablun minallah wa hablun minnnâs (QS 3: 112), sami’nâ wa atha’nâ (Allah, Rasul, Alquran). Konsekuensinya: setiap pekerja mukmin harus memberi penilaian dan harus siap pula dinilai. Tetapi, dasar yang harus menjadi kaidah: jujur, objektif; ikhlas.
  3. Keyakinan bahwa “pengembalian kepada Allah yang mengetahui al-ghayb dan asy-syahâdah” merupakan penumbuh dan penguat integritas, serta kewaspadaan seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Sebaliknya, ketidakyakinan atas sifat Allah ini akan menjadi penyebab kelalaian seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
  4. Reward and punishment harus diberlakukan secara disiplin dengan dukungan data-data. Sebaiknya, hasil dari penilaian tersebut dikonfirmasi dan diberitahukan kepada pelaku yang bersangkutan, fa yunabbi-ukum bimâ kuntum ta’malûn. Jika mungkin dan masih ada waktu, perbaikan dapat dilakukan.

About Usin S Artyasa

Aku adalah editor, instruktur terjamah Al Quran. Saat ini, sedang menempuh pendidikan magister manajemen di Program Pasca-Sarjana Universitas Widyatama Bandung.
This entry was posted in Kajian Al Qur'an. Bookmark the permalink.

Leave a comment