Keseimbangan Tubuh

Rasulullah Saw. pernah menegaskan melalui sabda-sabdanya tentang masalah keseimbangan biologi terhadap tubuh. Apa yang beliau jelaskan merupakan tuntutan Allah yang diberikan kepada beliau. Salah satu faktor penentu keseimbangan tubuh adalah sikap untuk tidak berlebih-lebihan dalam makan dan minum. Al Quran menyebutnya dengan ungkapan: “kulû wasyrabû wa lâ tusrifû” (QS al-A’raf, 31). Karena itu, manusia harus menyeimbangkan porsi makan, minum dan oksigen (napas) secara berkeadilan sesuai dengan peruntukannya.

Tindakan yang demikian itu merupakan sebuah keharusan dan prasarat utama untuk memperoleh keseimbangan biologis. Tujuan utama tindakan terukur dalam hal makan dan minum adalah untuk menjaga vitalitas dan sinergi tubuh. Peran udara dan air terhadap makanan merupakan kemutlakan. Maka, keberadaan air dan udara bagi makanan merupakan keharusan agar tersedot oleh sel-sel tubuh untuk dilakukan proses asimilasi. Agar proses asimilasi ini berjalan optimal, dibutuhkanah air sebagai pelancarnya. Proses asimilasi (mengubah komposisi makanan yang menyatu ke dalam  komposisi makanan yang terpecah-pecah) tidak akan sempurna, kecuali berada di tengah-tengah cairan.

Akhir dari proses asimilasi itu akan terkemas ke dalam bentuk energi. Dari energi, ada berbagai hal yang dapat digunakan oleh manusia. Proses asimilasi tidak akan pernah terjadi, kecuali jika berada dalam oksigen yang berjumlah cukup. Oksigen ini digunakan oleh sel-sel untuk memperlancar proses oksidasi makanan dalam rangka memperoleh energi yang cukup pula untuk mempertahankan vitalitas hidup. Jadi, keberadaan makanan, air, dan oksigen bagi tubuh mannusia sangatlah urgen. Ketercukupan jumlah ketiganya menjadi faktor penentu keberlanjutan vitalitas hidup manusia. Namun, satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan bahwa keberadaan proses pendistribusian yang teratur dan merata atas ketiga komponen itu menjadi penentu pula bagi keseimbangan tubuh. Pola pendistribusian yang tidak seimbang akan memunculkan masalah baru.

Perlu dijelaskan, penambahan porsi makan dapat menyebabkan terjadinya pertambahan berat tubuh. Di sisi lain, tubuh yang bobot makananya berlebihan akan memudahkan terjangkit oleh penyakit rasa nyeri di persendian dan penyakit perut. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. bahwa “al-bahtnu baytud dâ-i, perut itu sarang penyakit”.

Secara teori, manusia dapat terhindar dari rasa nyeri di persendian jika mau dan berkomitmen untuk menurunkan berat badan melalui pola makan yang benar dan tidak berlebihan. Pola dan kadar makan harus disesuaikan dari ukuran tinggi badan kira-kira 100. Di dalam teori matematika, pola dan gaya makan ini dapat dirumuskan. Patokannya adalah tinggi badan itu: dengan 100 + N cm, maka, tinggi badan ini harus seimbang dengan N kg.

Harus dipahami bahwa jika berat badan melebihi dari N kg, manusia akan mudah terhinggap oleh rasa nyeri di bagian persendian. Tidak hanya itu, manusia akan menemui banyak masalah dalam gerak maupun kegiatan lainnya. Artinya, jika tinggi badan manusia mencapai 180 cm (100 + 80 cm), idealnya, berat badannya harus mencapai 80 kg. Jika berat badan melebihi 80 kg, bagian persendian akan mudah terserang penyakit. Jadi, jelas sekali bahwa adanya aturan dan pola pendistribusian yang benar dan proses asimilasi makanan, minuman dan oksigen, secara seimbang merupakan sebuah kemestian.

Tentang masalah ini, ilmu pengetahuan modern dengan dukungan peralatan dan teknologi yang canggih dan teliti sudah pernah menegaskannya. Berkata kemajuan ilmu sel, biokimia, dan disiplin ilmu lain dari ilmu-ilmu biologi dan biokimia pula masalah keseimbangan itu sering ditegaskan. Segala sesuatu yang telah ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern itu, sesuai dan sudah pernah ditegaskan oleh sabda Rasulullah Saw. sejak 14 abad lalu. “Hendaknya anak cucu Adam tidak memenuhi perutnya dengan kejelekan. Jika tidak mampu untuk berbuat, maka 1/3 untuk makanan, 1/3 untuk minuman dan 1/3 untuk napas.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Hakim). Beliau juga bersabda, “Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali jika terasa lapar dan jika kami makan maka kami tidak kenyang.”

Sabda ini beliau lontarkan sejak 14 abad silam, sedangkan beliau seorang yang ummi, tidak mampu membaca dan menulis. Dan tak seorang pun pada masa itu yang mengetahui tentang ilmu sel, biokimia atau asimilasi makanan!  Itu adalah perkataan yang terlontar dengan kebenaran pengucap, dan beliau benar-benar utusan Allah SWT.

Sumber: Dr Abdul Basith Jamal dan Dr Daliya Shadiq Jamal (dengan sedikit editing dan penambahan dari penulis).

About Usin S Artyasa

Aku adalah editor, instruktur terjamah Al Quran. Saat ini, sedang menempuh pendidikan magister manajemen di Program Pasca-Sarjana Universitas Widyatama Bandung.
This entry was posted in Kesehatan. Bookmark the permalink.

Leave a comment