Berpikir Sempit

Sempit-tidaknya seseorang dalam memandang sesuatu permasalahan dapat dilihat dari cara pandang dia terhadap sesuatu itu, apakah hanya mengamati sesuatu yang tampak (dari satu perspektif) ataukah ia berpikir dari sisi yang lain (dari berbagai perspektif yang lebih luas). Wawasan sempit inilah yang sering melahirkan orang yang introvert (tertutup), yang menutup kemungkinan adanya kebenaran dari pihak lain. Biasanya, ornag introvert mengklaim bahwa dirinya lebih benar tanpa ilmu atau tanpa dasar-dalil yang jelas.

Wawasan atau berpikir sempit biasa diartikan sebagai sempitnya sudut pandang dan pengamatan; terbatasnya pandangan atau lemahnya penglihatan. Jadi, lemahnya pandangan menyebabkan terbatasnya daya pikir atau nalar sehingga tidak mampu melampaui ruang dan waktu. Dengan bahasa lain, lemahnya pandangan menyebabkan terbatasnya nalar pada hal-hal yang dekat saja (baca: rabun dekat dalam berpikir), dan tidak mampu menelaah dampak dan konsekuensi yang akan muncul (baca: rabun jauh dalam berpikir).

Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami; atau mereka mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar; atau mereka mempunyai mata yang dengan itu mereka dapat melihat. Sesungguhnya, bukanlah mata (kepala) itu yang buta, tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dada” (QS al-Hajj, 46).

Seperti halnya penyakit lainnya, penyakit-wawasan-sempit pun terjadi karena sebab-sebab tertentu. Lalu, apa saja sebab-sebab itu?

  1. Lingkungan keluarga dan sosial yang menjadi background. Ini terjadi karena lingkungan itu tidak memberi peluang untuk melakukan penumbuh-kembangan akal.
  2. Bergaul dengan orang-orang yang sempit yang ketika menyelesaikan masalah (mencari solusi) berdasarkan cara-cara klasik (baca: asbun), tidak kreatif.
  3. Menikmati kesendirian (isolasi diri). Bagaimanapun, orang yang mengasingkan diri, meskipun ia memperoleh manfaat, akan tetap rugi dan “bukan manusia sejati” yang harus bersosialisasi dengan orang lain.
  4. Tidak memahami fungsi dan peran manusia di bumi. Bukankah manusia memainkan peran ganda: khalifah Allah di bumi (inni jaa’ilun fil ardh khaliifah, QS al-Baqarah, 2: 30) dan hamba Allah (wa maa khalaqtu al-jinn wal ins illaa liya’buduun, QS adz-Dzariyaat, 56: 51).
  5. Tidak memahami hakikat dan cakupan ajaran Islam yang sempurna: al-yawm akmaltu lakum diinukum wa atmamtu ni’matii wa radhiitu lakum al-Islaaman diinan (QS al-Maidah, 3). Islam adalah ajaran yang syumul karena pemberian solusi atas masalah yang dihadapi manusia bersifat menyeluruh.
  6. Tidak menyadari kondisi dan strategi musuh yang selalu menabuh genderang perang terhadap Islam. Sepanjang sejarah perkembangan dakwah agama Allah, ada tiga kekuatan yang selalu menjadi senjata kaafiriin: glorius (kekuasaan-politik), gold (ekonomi), dan gospel (misi-agama). Apa yang pernah dilakukan oleh Raja Abrahah dari Yaman dipraktekkan pula oleh kekuatan imperialis-kolonialis modern, termasuk Amerika Serikat dan Sekutunya.
  7. Kagum diri, lalu terpedaya, dan akhirnya takabur. Ia merasa terlalu tinggi dan tidak selevel ketika harus menerima pengalaman dan advis dari orang lain.
  8. Tidak mengetahui sejarah tentang masalah yang dihadapi dan langkah mereka dalam penyelesaiannya. Ia tertutup dari informasi yang sebenarnya sangat bermanfaat, padahal informasi itulah yang akan mengembangkan frame of thinking. Apa yang pernah terjadi pada diri Nabi Yusuf a.s. dan Nabi Ibrahim a.s. ketika berdebat dengan Raja Namruj adalah pelajaran yang sangat berharga.

About Usin S Artyasa

Aku adalah editor, instruktur terjamah Al Quran. Saat ini, sedang menempuh pendidikan magister manajemen di Program Pasca-Sarjana Universitas Widyatama Bandung.
This entry was posted in Hikmah and tagged , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment